Bencana tsunami yang melanda Provinsi Aceh pada 26 Desember 2004 merupakan peristiwa menggemparkan di tingkat dunia. Tidak dapat dimungkiri, perhatian masyarakat di pelbagai pelosok tertuju pada kebergemingan bangunan Masjid Raya Baiturrahman saat bangunan di sekitarnya luluh lantak disapu ombak tsunami.
Kejadian ini semakin menguatkan keberadaan Masjid Raya Baiturrahman sebagai bagian sejarah panjang rakyat Aceh. Sejak awal didirikan pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636), masjid ini sudah memiliki fungsi selain untuk beribadah, yakni sebagai pusat pendidikan ilmu agama. Kala itu banyak kalangan bahkan dari luar negeri seperti Melayu, Persia, Arab, dan Turki yang datang untuk memperdalam ilmu agama.
Memasuki era penjajahan Belanda, masjid ini difungsikan sebagai basis pertahanan dan perlawanan rakyat Aceh. Tak heran, Belanda yang merasa kerepotan dengan perlawanan rakyat Aceh dan kematian Mayjen Kohler, akhirnya memutuskan untuk membakar habis masjid ini pada tahun 1873.
Pembakaran tersebut tidak melemahkan perjuangan rakyat Aceh, tetapi justru meningkatkan perlawanan. Untuk meredam kemarahan rakyat Aceh, pemerintah kolonial Belanda yang diwakili Gubernur Jenderal Van Lansnerge pada 1879 mulai membangun kembali masjid kebanggaan rakyat Aceh ini.
Masjid Raya Baiturrahman pun dipugar beberapa kali hingga kondisi dan bentuknya menjadi seperti sekarang. Saat ini masjid memiliki tujuh kubah, empat menara, dan satu menara induk.
Posisi masjid yang terletak di lapangan terbuka semakin memperkuat kesan megah karena bentuk bangunan masjid tampak secara keseluruhan dari berbagai arah.
Di depan masjid, terdapat taman yang ditumbuhi rerumputan dengan aksen beberapa pohon kurma. Kolam besar yang ada di taman itu pada waktu-waktu tertentu akan memantulkan refleksi bangunan masjid tampak depan secara keseluruhan hingga menghasilkan sebuah pemandangan yang sangat indah.
Keseluruhan arsitektur masjid merupakan gabungan gaya sejumlah negara. Gerbang utama yang menyerupai gaya rumah klasik Belanda berada tepat di depan pintu utama yang dibatasi serambi bergaya arsitektur masjid-masjid di Spanyol. Adapun pintu yang menjadi sekat menuju ruang utama masjid bergaya khas arsitektur kuno India.
Memasuki bagian ruang utama masjid akan terlihat hamparan luas ruang berlantai marmer berwarna dominan putih dari Italia. Ruang utama juga dipenuhi tiang penyangga berwarna putih dengan sedikit aksen hiasan di bagian bawahnya. Warna putih ini membuat ruang utama terkesan semakin lapang.
Bagian dalam kubah utama yang tepat berada di bagian tengah ruang utama dilengkapi lampu gantung yang memuat 17 titik lampu penerang. Lampu gantung hias juga terlihat di mihrab masjid, tepat di titik tengah bagian depan ruangan.
Fungsi masjid saat ini semakin berkembang seiring penerapan syariat Islam di Nangroe Aceh Darussalam. Bukan hanya sebagai tempat ibadah dan pendidikan agama, kini Masjid Raya Baiturrahman juga dijadikan sebagai media pengembangan potensi sosial kemasyarakatan.