Mengadu ketangkasan bertombak di antara dua kesatria, tidak hanya merupakan adat orang Eropa. Kebiasaan itu sudah ada sejak Indonesia masih berupa kepulauan Nusantara. Hanya saja, di Indonesia, tepatnya di Sumba, Nusa Tenggara Timur, bukanlah tombak bermata tajam melainkan lembing kayu. Adu ketangkasan ini bernama Pasola.
Pa sebagai imbuhan depan berarti permainan dan Sola atau Hola adalah lembing kayu. Pasola kemudian dikenal sebagai adu ketangkasan melempar lembing kayu sambil mengendarai kuda. Namun, bila di Eropa adu laga ini adalah satu lawan satu, di Sumba adu laganya adalah kelompok lawan kelompok. Bisa dibayangkan betapa seru dan tingginya tingkat ketangkasan yang dibutuhkan dalam laga ini.
Tradisi adu ketangkasan ini berasal dari masa silam, saat masyarakat Sumba masih kental menganut animisme. Saat ini pun mereka menganut agama asli yang disebut Marapu. Dalam keyakinan mereka, darah sang kesatria yang mengalir di dalam Pasola adalah bentuk pemujaan sekaligus usaha menyenangkan dewa-dewa mereka.
Oleh karenanya, kematian sang kesatria di arena ini adalah suatu kematian yang terhormat. Ia pun akan dikuburkan di dataran paling tinggi dari gunung kuburan batu masyarakat tersebut.
Oleh karenanya pula, festival ini, bila mana hendak dikatakan sebagai perang, bukanlah perang dalam pengertian perebutan wilayah dan kekuasaan melainkan adu ketangkasan sebagai bentuk pemujaan kepada para dewa. Jadi, perang dapat dikatakan sebagai “jiwa” masyarakat ini.
Perang bukan untuk kerusuhan dan perpecahan melainkan untuk berpacu dalam usaha. Dalam hal ini, perang dimanifestasikan dalam bentuk adu ketangkasan atau Pasola, juga sebagai peribadatan kepada dewa-dewa untuk kesejahteraan penduduk Sumba di hari-hari kemudian.
Namun sekarang, darah kurban untuk dewa-dewa bukan lagi darah kesatria di medan laga, melainkan darah hewan-hewan seperti ayam atau kerbau air. Lembing yang dipakai dalam Pasola pun bukanlah lembing tajam melainkan lembing biasa untuk menghindari banyak darah peserta yang tumpah.
Pasola ini adalah kegiatan lanjut dari upacara Nyale. Suatu ritual suci di bulan purnama untuk melihat keadaan cacing-cacing di pinggir laut. Nyale juga dapat dikatakan sebagai momen “pengiriman” jawaban dewa-dewa atas persembahan penduduk Sumba.
Persembahan yang telah penulis katakan di atas, yakni berupa darah kurban hewan-hewan. Jawaban tersebut berupa keadaan cacing-cacing. Bila yang disebutkan terakhir ini didapati dalam kondisi sehat dan gemuk maka kemungkinan besar kehidupan masyarakat Sumba di kemudian hari sejahtera. Namun, bila keadaan cacing-cacing yang mereka temukan justru sebaliknya, maka bisa saja mereka akan mendapatkan kesulitan seperti kekeringan, penyakit atau yang lainnya.
Pada masa ini pun kegiatan memancing atau melaut adalah hal yang tabu. Sebab, bila dilakukan, menurut penduduk setempat, akan ada monster yang mengancam nyawa mereka. Jika nyawa para pelaut dan pemancing telah melayang, maka mereka yang patuh pada tradisi adat dapat terlepas dari dosa para pelanggar.
Nyale ini diawali dengan lantunan mantra, “wu, wu” oleh orang-orang yang berjalan ke pinggir laut sambil berkerumun di dekat dukun-dukun (pendeta-pendeta lokal) yang disebut rato. Para Rato menggaruk-garuk abu dengan tongkat untuk mencari tanda kemunculan roh-roh. Mereka membaca mantra sambil memercikkan air ke dupa. Hewan-hewan kurban pun disembelih dan mantra-mantra pun terus dilantunkan.
Sementara rato-rato ini mengerumuni hewan kurban tersebut, para sepuh menyalakan kretek (semacam rokok cengkeh yang amat tajam) dan perempuan-perempuan tua mengunyah sirih.
Setelah beberapa jam berlalu, ada rato yang menyingsingkan sarungnya dan bergegas ke laut. Sementara rato yang lain masuk ke dalam ombak laut dan bergumul di dalamnya. Tidak berapa lama, ia pun kembali ke tepian.
Ada tiga tanda sebelum para rato menemukan yang mereka cari di laut. Namun, ketika langit membentuk garis-garis dengan cahaya kuning tua, satu rato mendekat ke air dan mengambil segenggam yang nampak seperti kotoran bila dilihat dari kejauhan. Itulah cacing-cacing. Sambil berteriak, ia menaikkan genggaman tersebut ke udara. Seketika itu pula kerumunan bersorak-sorai. Itulah tanda Pasola akan segera dimulai.
Setelah proses di laut, para penunggang kuda dari pelbagai kelompok berkumpul di lapangan. Tubuh mereka dihiasi pita-pita. Ada juga yang tengah berusaha menajamkan lembingnya di antara bebatuan dan ada pula yang membetulkan ornamen-ornamennya.
Mereka kemudian membentuk dua barisan yang berseberangan cukup jauh. Ketika aba-aba diberikan oleh sang pemandu, mulailah Pasola dilakukan. Kedua barisan tersebut saling memacu. Pasola kemudian nampak seperti berada di dalam situasi yang sakral nan khidmat. Lantaran dimulakan dengan darah kurban hewan-hewan yang diiringi lantunan mantra-mantra pada prosesi Nyale. Dengan begitu, dewa-dewa pun telah diagung-agungkan. Tanda kedua pun diberikan, maka mulailah lembing-lembing melayang.
Di dalam arena ini, proses mengumpan dan merespons pun terjadi. Tiap kelompok berusaha melemahkan posisi lawan. Laga ini sungguh membuat jantung berdegup kencang. Sering kali, para kesatria melakukan gerakan-gerakan yang berbahaya.
Sesekali objek-objek ditandakan, lembing-lembing pun dilayangkan. Para penunggang yang terkena pun berjatuhan seiring kuda-kuda mereka yang ikut tersentak dahsyat seperti terpukul karenanya.
Sorak-sorai orang-orang yang menonton pun bergemuruh. Emosi mereka tersulut. Aparat keamanan berupaya menghalau beberapa di antaranya yang keluar dari garis pembatas.
Ketika waktu berakhirnya Pasola ini tiba, sealunan tanda penghentiannya diberikan, di saat ini pula dinyatakan bahwa tidak ada pihak yang kalah mau pun menang. Tentu ini mengherankan bagi yang terbiasa melihat laga ketangkasan apalagi laga perkelahian.
Kembali lagi penulis utarakan, karena adu ketangkasan tradisional ini adalah untuk mendapatkan kedamaian ataupun keberkahan dari para dewa di hari-hari penduduk Sumba ke depan. Upacara tradisional ini sekaligus simbol pengharapan masyarakat akan panen yang berlimpah ruah di waktu mendatang. Para kesatria penunggang kuda pun menjilati darah dari luka mereka yang mengalir sebagai perwujudan akan keikhlasan dan kesadaran dari kekurangtangkasan alun gerak mereka saat di Pasola tadi.
Hal yang membuat aneh bagi wisatawan asing, konon apabila ada semacam polisi yang hendak mengontrol mau pun mengintervensi prosesi festival Pasola yang penuh gairah “perang” ini sedari awal kegiatan mulai dilakukan, yakni dari laut hingga kelapangan Pasola, cacing-cacing tidak muncul di dalam alunan gelombang laut.