Desa Trunyan, Tradisi, dan Cara Pemakaman yang Unik

07.12.2024 02:35
2-3 menit
Tari Barong Brutuk merupakan tarian klasik khas wilayah Desa Trunyan kecamatan Kintamani Bangli Bali. Tarian ini ditarikan oleh remaja putra dengan mengenakan pakean yang terbuat dari kraras atau daun pisang yang sudah kering. sebelum menarikan tarian sakral ini para remaja melaksanakan prosesi penyucian diri berupa mandi di danau serta beberapa prosesi sakral lainnya. selama pementasan tarian Barong Brutuk ini, para penari berkeliling area Pura Puserin Jagat di Desa Trunyan dengan membawa pecut/cemeti dan menghempaskan cemeti tersebut kepada para penonton di sekitar Pura. masyarakat setempat meyakini apabila terkena hempasan cemeti tersebut mereka mendapat berkah/obat atau disebut "tamba" serta mampu memberi perlindungan diri dar gangguan magis.
Tari Barong Brutuk merupakan tarian klasik khas wilayah Desa Trunyan kecamatan Kintamani Bangli Bali. Tarian ini ditarikan oleh remaja putra dengan mengenakan pakean yang terbuat dari kraras atau daun pisang yang sudah kering. sebelum menarikan tarian sakral ini para remaja melaksanakan prosesi penyucian diri berupa mandi di danau serta beberapa prosesi sakral lainnya. selama pementasan tarian Barong Brutuk ini, para penari berkeliling area Pura Puserin Jagat di Desa Trunyan dengan membawa pecut/cemeti dan menghempaskan cemeti tersebut kepada para penonton di sekitar Pura. masyarakat setempat meyakini apabila terkena hempasan cemeti tersebut mereka mendapat berkah/obat atau disebut "tamba" serta mampu memberi perlindungan diri dar gangguan magis. Kochiana

Trunyan adalah sebuah desa yang unik, tak ada duanya. Desa kecil di tepi Danau Batur, berada di kawah Gunung Batur Purba, di ketinggian 1.038 meter dari permukaan laut. Di desa ini terdapat pohon kemenyan (benzoin). Dalam bahasa Bali halus, pohon adalah taru. Bisa jadi dari kata taru menyan, nama desa ini berasal.

Trunyan merupakan salah satu desa yang dihuni oleh Suku Bali Aga atau Bali Mula yang masih teguh memegang tradisi leluhurnya. Bali Aga atau Bali Mula merupakan suku bangsa yang pertama mendiami Pulau Bali. Hingga kini suku Bali Aga dan segala keunikannya masih dapat ditemui, salah satunya di Desa Trunyan.

Di desa ini, terdapat pura kuno Pancering Jagat yang menjadi pusat kegiatan dan tempat terpenting masyarakat Trunyan. Di pura itu, setiap Purnamaning Sasih Kapat (sekitar bulan Oktober), masyarakat Trunyan menggelar upacara Sabha Gede. Dalam upacara itu, dikisahkanlah legenda Ratu Sakti Pancering Jagad. Legenda ini berkaitan dengan asal-usul Desa Trunyan di masa lalu.

Desa yang berada di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli ini memiliki cara pemakaman unik, yang bagi kita terkesan menyeramkan. Jenazah tidak dimakamkan ataupun dibakar layaknya upacara Ngaben, tapi diletakkan di bawah pohon kemenyan itu. Lokasi pemakamannya disebut Sema Wayah. Konon katanya, bau harum yang dimiliki pohon menyan membuat mayat-mayat itu tidak berbau.

Perjalanan ke Sema Wayah bisa ditempuh melalui jalur darat maupun jalur air. Jika melalui jalur darat, dibutuhkan waktu sekitar 45 menit dengan melewati Desa Penelokan. Lebih mudah melalui jalur air, yaitu dengan menyeberangi Danau Batur dari induk Desa Trunyan. Hanya memakan waktu 15 menit. Alat transportasinya bisa perahu dayung ataupun perahu bermotor.

Dalam tradisi penguburan masyarakat Trunyan, mayat tidak boleh dibawa dengan perahu bermotor. Selalu perahu dayung. Terkecuali pengantarnya yang boleh menumpang perahu bermotor. Sesampai di Sema Wayah, jenazah baru itu tidak langsung digeletakkan, harus melalui beberapa upacara dulu.

Keluarga yang meninggal harus membeli petak tanah yang akan dijadikan tempat jenazah secara ritual. Soalnya, pemakaman itu hanya memiliki sebelas petak tempat penyimpanan jenazah. Oleh karena itu, mayat baru secara simbolis harus dibelikan satu petak yang sudah terisi.

Tentu saja, yang dibeli adalah petak yang diisi mayat paling tua, artinya yang paling dulu ada di antara yang sebelas itu. Nah, mayat yang paling tua ini disingkirkan dari petak, dan tulang-tulangnya digeletakkan begitu saja di luar petak-petak. Petaknya diisi mayat baru.

Mayat baru ini diselimuti kain sukla, yaitu kain yang belum pernah dipakai sama sekali atau kain yang baru dibeli dari toko. Hanya kepala mayat yang dibiarkan tanpa tutup. Kemudian lingkaran petak yang terbuat dari anyaman bambu itu diperbarui.

Begitulah tradisi penguburan mayat orang dewasa di Trunyan. Jenazah tidak ditimbuni dengan tanah, tapi cukup dibaringkan dan dikelilingi anyaman bambu yang disebut ancak saji. Tata cara pemakaman yang sudah berumur ratusan tahun ini disebut mepasah.

Jadi, tengkorak-tengkorak dan tulang-tulang yang berserakan di kuburan Trunyan adalah mayat tua yang petaknya ditempati mayat baru. Tengkorak itulah yang belakangan ini ditata oleh orang-orang Trunyan. Ada tengkorak yang dikumpulkan di depan candi bentar, lalu ditaruh piring dan uang receh di atasnya.

Hanya orang yang meninggal secara wajar yang dimakamkan dengan tata cara mepasah di Seme Wayah. Mereka yang meninggal karena kecelakaan atau meninggal secara tak wajar dimakamkan di Seme Bantah. Jika yang meninggal masih bayi, anak kecil, atau  belum menikah maka akan dikuburkan di Seme Muda.

Penduduk Trunyan yang perempuan dilarang mengunjungi makam-makam yang saling terpisah itu. Mereka yang baru saja dari makam juga tidak boleh langsung masuk ke Pura Pancering Jagat, harus melalui proses pembersihan.

Galeri Gambar

View the embedded image gallery online at:
https://intronesia.id/introcity/bali/desa-trunyan-tradisi-dan-cara-pemakaman-yang-unik#sigProId264b316c0a

intronesia logo

intronesia.id adalah patform media digital sebagai opsi ruang informasi yang menyajikan berita dan informasi secara proporsional dan objektif.  "cintai indonesia dengan caramu"

©2024. PT Intro Media Indonesia