Di Afrika, ditemukan beberapa jenis perkusi yang menghasilkan bunyi bernada. Di Nusantara, kolintang mewakili perwujudan model perkusi tersebut. Bunyi dari kayu yang dibentuk dengan ukuran tertentu, dan ditempatkan dalam rangka yang menghasilkan resonansi atau dengungan, merupakan ciri utama kolintang.
Kolintang atau kulintang merupakan identitas kebudayaan masyarakat Minahasa, Sulawesi Utara. Masyarakat di sana membentuk kolintang sebagai sebuah “orkestra” dengan jenis bunyi yang berbeda yang biasanya terdiri dari soprano, basso, dan alto. Kolintang dimainkan baik sebagai lagu yang berdiri sendiri maupun untuk mengiringi sebuah lagu.
Pembuatan kolintang memakan waktu karena membutuhkan akurasi nada. Biasanya dalam tangga nada diatonik.
Kayu yang dipakai dapat berasal dari kayu telur, wenang, kakinik, atau bandaran. Jenis kayu yang agak ringan tapi cukup keras dengan serat kayu yang tersusun sedemikian rupa sehingga membentuk garis sejajar.
Dengan bahan kayu tersebut, capaian nada yang dapat dihasilkannya amat beragam. Hal ini mencerminkan sebuah orkestra unisono, namun dengan pola nada yang beragam dan dengan pola ketuk nada yang berbeda.
Awalnya jenis alat musik yang lahir di tanah Minahasa ini hanya melodi, lalu berkembang sampai ke bas, banjo, ukulele, dan sebagainya yang mencapai 10 jenis.
Di masa silam, permainan musik kolintang erat kaitannya dengan kepercayaan orang Minahasa. Biasanya, alat musik ini dimainkan pada saat ritual adat untuk memuja leluhur. Alat musik ini kemudian sempat hilang dari masyarakat Minahasa karena desakan agama Kristiani yang masuk ke daerah itu.
Baru setelah Perang Dunia II, kolintang muncul kembali. Nelwan Katuuk yang memelopori kemunculan tersebut. Nelwan Katuuk adalah seorang tuna netra yang banyak menciptakan lagu-lagu daerah Minahasa. Ia menyusun kembali nada kolintang menurut susunan nada musik yang kita gunakan saat ini.
Dalam perkembangannya, alat musik tradisional ini bukan hanya menjadi alat musik yang populer di kalangan masyarakat Minahasa saja, melainkan juga pada kelompok-kelompok seni. Komposisinya menjadi beragam, mulai dari lagu-lagu daerah sampai dengan lagu yang didasarkan pada lagu pop.
Bagi masyarakat Minahasa kolintang bukan sekadar alat musik. Di dalamnya terdapat nilai-nilai kearifan, seperti keseimbangan, demokrasi, saling menghargai, dan menghormati. Nilai-nilai tersebut terkandung dalam jumlah bilah serta cara mengetuknya.
Terdapat fakta yang menarik mengenai perkembangan cara memainkan kolintang. Awalnya, alat musik ini hanya berupa bilah-bilah yang ditata di atas tanah beralas pelepah pisang. Ada juga yang diletakkan pada lutut pemainnya atau digantung menggunakan tali.
Saat Pangeran Diponegoro diasingkan ke tanah Minahasa, dia turut memengaruhi bentuk tampilan kolintang menjadi seperti sekarang ini, yakni dengan penggunaan peti resonator di bawah bilah.