Tenun sekomandi merupakan warisan leluhur masyarakat Mamuju, Sulawesi Barat, yang bernilai sejarah dan kaya akan nilai budaya lokal. Kain tradisional ini beberapa tahun lalu sempat terancam punah akibat jumlah perajinnya yang kian berkurang. Banyak perajin yang meninggalkan tenunan karena hasilnya tidak cukup memenuhi kebutuhan hidupnya.
Beberapa orang Mamuju yang sadar akan pentingnya tenun sekomandi berusaha kembali mengangkat harkat kain tradisional ini. Sejak itu, usaha penenunan kembali bergeliat.
Tenun sekomandi berasal dari leluhur Kalumpang. Daerah ini merupakan wilayah perdagangan yang sangat kaya. Dengan peninggalan arkeologi yang dimilikinya, Kalumpang juga merupakan daerah yang kaya akan sejarah. Daerah ini disebut sebagai pusat awal peradaban di Sulawesi.
Menurut cerita turun-temurun, kain ini bermula saat salah seorang nenek moyang orang Kalumpang, bernama Undai Kasalle, berburu di hutan belantara. Ia kemudian menemukan selembar daun besar di sebuah goa.
Daun tersebut ia bawa dan diperlihatkan kepada istrinya di rumah. Sang istri kemudian mendapat petunjuk untuk membuat kain tenun. Kain itulah yang kini dikenal sebagai tenun sekomandi. Kain ini lantas menjadi tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi, terutama pada kaum perempuan keturunan Undai Kasalle.
Bentuk dasar motif tenun sekomandi adalah belah ketupat, perisai, garis beraturan, hingga bentuk seperti kepiting dan orang-orangan. Bentuk-bentuk ini ditampilkan dengan warna yang cenderung tegas sekaligus kalem dengan memadukan warna jingga, merah, cokelat, hijau, krem, dan kuning.
Tenun sekomandi diwarnai alami dengan bahan-bahan dari berbagai jenis tanaman, seperti jahe, lengkuas, cabai, kapur sirih, laos, kemiri, juga beragam dedauanan, akar pohon, serta kulit kayu. Bahan-bahan ini ditumbuk halus lalu dimasak.
Untuk mendapatkan warna yang benar-benar bagus, benang direndam berulang-ulang dalam larutan pewarna setiap hari selama satu bulan. Hal ini dilakukan untuk memperkuat warna dan agar warna tidak luntur.
Bahan benangnya berasal dari kapas yang dipintal secara manual. Proses pemintalan yang dikerjakan secara tradisional memakan waktu yang lama, tiga hingga enam bulan.
Dengan bahan alami yang terbatas dan proses penenunan yang rumit, tenun sekomandi tidak bisa diproduksi dalam jumlah massal sekaligus. Ini menyebabkan kain ini berharga mahal.
Saat ini, tenun sekomandi telah dikenal luas bahkan menjadi salah satu ikon Mamuju. Permintaan akan tenun ikat tradisional ini juga meningkat. Hal ini mendorong para penenun untuk kembali menekuni pekerjaan ini karena hasilnya memang menjanjikan. Tentu, ini menjadi berita baik bagi kelestarian tenun warisan leluhur ini.