Di Tengah Bayang-bayang Politik Dinasti, Legitimasi MK Runtuh

17.10.2023 13:51
2-4 menit
MK Membuat Keputusan Tentang Batas Usia Capres dan Cawapres
MK Membuat Keputusan Tentang Batas Usia Capres dan Cawapres Istimewa

intronesia.id, Langkah Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka untuk maju di Pilpres 2024 kini terbuka lebar. Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan 'karpet merah' kepada putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) lewat putusan soal gugatan syarat calon presiden dan calon wakil presiden di UU Pemilu.

Kemarin, MK mengabulkan sebagian permohonan perkara nomor: 90/PUU-XXI/2023 dengan menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu 7/2017 soal syarat usia capres dan cawapres paling rendah 40 tahun bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Hakim konstitusi mengubahnya jadi berusia paling rendah 40 tahun atau pernah dan sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. Artinya, orang yang belum berusia 40 tahun bisa maju jadi capres atau cawapres selama berpengalaman jadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilu.

Sejumlah pakar hukum tata negara mengolok Mahkamah Konstitusi (MK) pasca putusan soal gugatan UU itu.

Anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS) Herdiansyah Hamzah 'Castro' menilai MK saat ini bukan lagi penjaga konstitusi, melainkan penjaga keluarga. Hal ini bertalian dengan hubungan Ketua MK Anwar Usman dengan Gibran selaku paman dan keponakan. Menurut Castro, reputasi MK telah hancur.

"Putusan MK yang mengabulkan permohonan syarat capres-cawapres ini tidak hanya meruntuhkan kepercayaan publik terhadap MK, tapi juga merobohkan pilar lembaga sebagai the guardian of constitution. Pilar itu kini berubah jadi the guardian of family," ujar Castro saat dihubungi, Selasa (17/10).

"Reputasi MK rusak karena perilaku dan cara berpikir hakim-hakimnya sendiri yang lebih kental syahwat politiknya dibanding nalar berpikirnya," imbuhnya.

Menurut dia, putusan MK yang seolah mengakomodasi kepentingan Gibran di Pilpres 2024 mempunyai dampak yang besar. Castro menyinggung legitimasi Pemilu 2024.

"Tentu putusan ini berdampak besar. Akan terjadi krisis legitimasi terhadap putusan-putusan MK berikutnya, termasuk putusan sengketa pemilu 2024 nanti. Kondisi ini berbahaya jika MK tidak segera berbenah," kata pengajar dari Universitas Mulawarman (Unmul) itu.

Castro menawarkan solusi untuk mengembalikan muruah MK. Dalam jangka pendek, ia mendesak agar Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) segera dibentuk untuk memproses etik Ketua MK Anwar Usman.

"Dengan alasan yang bersangkutan terlibat konflik kepentingan dalam putusan a quo yang menguntungkan ponakannya sendiri," kata Castro.

"Dalam jangka panjang, MK harus dijauhkan dari kepentingan dengan cara mengatur ulang proses seleksi dan sistem pengisian hakim-hakim MK yang independen dan mandiri," ucapnya.

Sementara itu, Pengajar dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Bivitri Susanti mengatakan sebelum ada putusan syarat usia capres dan cawapres, MK sudah diolok-olok publik. Hal itu terlihat dari foto yang beredar seperti 'Mahkamah Keluarga' hingga konten video 'Pamanku dari MK'.

Ia juga mengatakan reputasi MK sudah sangat turun. Legitimasi MK pun makin berkurang.

"Cantolan legitimasi lembaga pengadilan itu kan sebenarnya kepercayaan publik dan kepercayaan publik itu cantolannya adalah argumen mereka," kata Bivitri.

"Ini kan argumen mereka parah betul. Sebelum keluarnya putusan kemarin kan mereka sudah diolok-olok, ada Mahkamah Keluarga, ada lagu 'Pamanku dari MK', jadi benar-benar sudah diolok-olok, direndahkan banget, kemarin tambah konfirmasi. Jadi, memang reputasinya turun sekali," imbuhnya.

Bivitri pun sempat menyinggung MK akan meneguhkan dinasti politik jika mengabulkan permohonan yang mengakomodasi kepentingan Gibran menjadi capres atau cawapres di Pemilu 2024. Ia menilai kondisi itu lebih parah dibandingkan dengan zaman Soeharto.

Hal itu disampaikan Bivitri dalam webinar bertajuk 'Ancaman Politik Dinasti Menjelang Pemilu 2024?', Minggu (15/10) lalu.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Herlambang Wiratraman menambahkan MK tidak cukup kuat jadi penyeimbang kekuasaan di tengah menguatnya rezim otoritarian dan antidemokrasi.

Menurutnya, MK justru tunduk dalam kuasa oligarki karena preferensi putusannya yang lebih menempatkan upaya menopang kepentingan politik oligarki. Alih-alih menyebut sebagai 'Mahkamah Keluarga', Herlambang lebih memilih menjuluki MK sebagai 'Mahkamah Kartel'.

"Saya pernah membuat tulisan kenapa MK ini lebih cocok disebut sebagai Mahkamah Kartel. Ketika dia hanya diorientasikan atau ditaruh atau ditempatkan dalam posisi yang sebenarnya melumasi kepentingan kartel," kata Herlambang.

"Lalu sampai pada titik mengonfirmasi sendiri dari putusan ke putusan. Baik itu yang terakhir UU Cipta Kerja ataupun yang kemarin (perkara nomor 90/2023), itu kan mengonfirmasi kartelisasi politik dalam sistem tata negara. Terutama ketika melihat MK ternyata justru gagal menyeimbangkan kekuasaan dan masuk dalam pusaran kuasa oligarki itu," imbuhnya.

Herlambang turut menawarkan solusi untuk menyelamatkan dan mengembalikan muruah MK. Ia mengatakan semua pihak harus sadar bahwa saat ini sistem politik berada di titik nadir karena oligarki kekuasaan melekat dalam sistem ketatanegaraan.

"Solusinya enggak ada pilihan lain, bongkar semua sistem kuasa oligarki yang itu bertemali satu dengan yang lain," tandasnya

intronesia logo

intronesia.id adalah patform media digital sebagai opsi ruang informasi yang menyajikan berita dan informasi secara proporsional dan objektif.  "cintai indonesia dengan caramu"

©2024. PT Intro Media Indonesia