Kiai Haji Ahmad Dahlan dikenal sebagai seorang pembaru Islam Indonesia, terutama dalam bidang sosial dan pendidikan Islam. Organisasi Muhammadiyah yang didirikannya menjadi salah satu organisasi masyarakat terpenting di Indonesia sejak pendiriannya hingga sekarang.
Ahmad Dahlan bernama kecil Muhammad Darwis, dilahirkan di Yogyakarta pada 1868. Ayahnya, Kiai Haji Abubakar, adalah salah seorang dari 12 khatib Masjid Besar Yogyakarta yang merupakan masjid keraton. Ibunya bernama Siti Aminah putri Kiai Haji Ibrahim, seorang penghulu keraton kesultanan Yogyakarta. Dengan demikian, anak keempat dari 7 bersaudara ini lahir dari keluarga ulama keraton yang mengabdi pada Sultan Yogyakarta dalam bidang keagamaan.
Lahir dan dibesarkan di kampung Kauman Yogyakarta, Muhammad Darwis akrab dengan tradisi keislaman yang kuat. Apalagi dengan latar belakang keluarganya yang jika dirunut ke atas, kita akan menemukan deretan kiai-kiai besar yang berpengaruh dalam sejarah Islam di Pulau Jawa.
Sewaktu kecil, ia dididik langsung oleh ayahnya. Ia kemudian belajar pada beberapa kiai di Yogyakarta. Setelah menamatkan pendidikan dasarnya dalam bidang nahu, fikih, dan tafsir, ia berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus belajar selama kurang lebih satu tahun. Salah seorang yang menjadi gurunya adalah Syeikh Ahmad Khatib, seorang ulama yang sangat terkenal di Mekkah. Pada kesempatan ini pula, salah seorang gurunya, Sayyid Bakri Syatha, memberikan nama baru Ahmad Dahlan padanya.
Ahmad Dahlan dan Arah Kiblat
Setelah kembali dari Mekkah, ia membuat pembaruan keislaman di lingkungannya. Diantaranya adalah perubahan arah kiblat. Ahmad Dahlan menyarankan untuk mengubah arah kiblat, yang mulanya lurus ke arah barat menjadi arah barat laut, persis menghadap Kakbah yang di kota Mekkah.
Ahmad Dahlan mengundang beberapa ulama untuk membicarakan hal ini pada 1898, tetapi tidak tercapai kata sepakat. Meski demikian, pemikirannya ternyata berpengaruh di kalangan muda kampung Kauman.
Suatu kali terjadilah peristiwa yang cukup menggegerkan di Masjid Agung Kauman dengan ditemukannya garis dari kapur di lantai masjid. Garis shaf tersebut bertujuan untuk menunjukkan arah kiblat yang benar. Namun, karena belum tercapai kata sepakat di kalangan para ulama, penghulu kepala yang bertugas menjaga Masjid Agung segera menyuruh orang untuk menghapus garis shaf tersebut.
Ahmad Dahlan kemudian mendirikan langgar pribadi yang dibangun tepat menghadap kiblat. Akan tetapi, langgar tersebut mendapat tentangan keras dan dirobohkan. Sebagai gantinya, ia mendirikan lagi sebuah langgar yang persis menghadap ke barat dengan tanda shaf yang tepat menghadap Mekkah.
Pada 1902, ia pergi ke Mekkah untuk yang kedua kalinya. Di sana, ia meneruskan pendalaman ilmu agama Islam. Sekembalinya ke tanah air, ia diberi gelar ‘kiai’ sebagai pengakuan dan penghargaan atas kesalehan dan pengetahuan agama yang dimilikinya.
Bergerak dalam Bidang Pendidikan
Kiai Ahmad Dahlan kemudian menggantikan kedudukan ayahnya sebagai salah satu dari 12 khatib Masjid Besar Yogyakarta. Selain sebagai khatib, ia bekerja sebagai pedagang untuk menghidupi keluarganya. Kecerdasan, kesalehan, dan kepribadiannya yang menyenangkan banyak orang membuatnya sukses baik sebagai khatib maupun sebagai pedagang.
Tidak hanya itu, Kiai Ahmad Dahlan pun aktif dalam organisasi kemasyarakatan. Tercatat, ia pernah menjadi anggota Jam’iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Komite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Di Budi Utomo, ia memberikan pelajaran agama pada para anggotanya. Pengajaran dilakukan pada hari Sabtu dan Minggu di rumahnya sendiri.
Kiai Ahmad Dahlan kemudian mendirikan sekolah pertamanya secara formal pada 1 Desember 1911 dengan nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah (setingkat sekolah dasar). Ia mengelola sekolah ini secara modern dengan menggunakan kurikulum baru yang menggabungkan sistem pesantren dan pendidikan Barat. Dengan demikian, sekolah ini tidak hanya mempelajari agama Islam semata, tetapi juga membaca dan menulis Latin, ilmu hitung dan ukur, juga ilmu-ilmu lainnya.
Tampaknya Kiai Ahmad Dahlan menyadari pentingnya ilmu pengetahuan, di samping ilmu agama, bagi kemajuan bangsa Indonesia. Dengan ini, ia melakukan pembaruan pada sistem pendidikan bagi umat Islam di Indonesia saat itu.
Madsrasah yang menjadi cikal bakal sistem sekolah modern Muhammadiyah ini pada awalnya banyak mendapat tekanan. Pembaruan yang dilakukan Kiai Ahmad Dahlan di sekolah yang didirikannya belum bisa diterima oleh lingkungan sekitarnya. Ia dituduh telah menyimpang dari ajaran Islam.
Namun, banyaknya tekanan tidak menyrutkan langkah Kiai Ahnad Dahlan. Ia menganggap respons negatif tersebut sebagai hal yang wajar. Setiap usaha pembaruan sudah pasti akan mendapat banyak tentangan.
Mendirikan Muhhamadiyah
Persyarikatan Muhammadiyah didirikan pada 18 November 1912. Tujuan utama Ahmad Dahlan mendirikan organisasi ini terutama untuk mendalami agama Islam di kalangan anggotanya sendiri dan menyebarkan agama Islam di luar anggota inti. Pada awal pendiriannya, kegiatan utama organisasi Muhammadiyah adalah Tabligh yang dilaksanakan secara rutin. Melalui organisasi ini pula, Kiai Ahmad Dahlan mengembangkan pendidikan dengan sistem sekolah yang sebelumnya telah ia rintis.
Meski pada awal pendiriannya, Muhammadiyah banyak mendapat pembatasan dari pemerintah kolonial Belanda, toh lambat-laun organisasi ini berkembang dan memiliki cabang hampir di seluruh Indonesia.
Kiai Haji Ahmad Dahlan meninggal 23 Februari 1923 pada usia 55 tahun. Selama sepuluh tahun lebih kepemimpinannya di Muhammadiyah, ia telah membangun fondasi yang kukuh bagi perkembangan organisasi ini selanjutnya.
Sampai saat ini, Muhammadiyah menjadi salah satu organisasi kemasyarakatan terpenting di Indonesia. Prestasi terbesarnya berada dalam bidang pendidikan. Muhammadiyah memiliki sekolah modern dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi yang tersebar di seluruh Indonesia.