Arsitektur tradisional Indonesia merangkum keragaman bentuk dan teknologi yang mencerminkan ciri daerah dan kayanya warisan sejarah. Namun, di balik keragaman tersebut, terdapat ciri umum yang menandai arsitektur tradisional Indonesia.
Ciri umum dalam arsitektur tradisional Indonesia ini merupakan peninggalan nenek moyang Austronesia. Istilah Austronesia merujuk pada sekumpulan bahasa yang berhubungan dan digunakan oleh kebanyakan masyarakat di kepulauan Asia Tenggara, sebagian daratan Asia, Taiwan, dan Madagaskar. Sebagian daerah di Indonesia bagian timur memiliki tradisi bahasa dan kebudayaan yang berbeda.
Ciri-ciri umum tersebut yaitu bentuk rumah panggung dengan fondasi tiang kayu, pemanjangan bubungan atap, teknik konstruksi dengan penggunaan bahan bangunan alami serta cara menyusun tiang dan balok yang khas, dan gagasan rumah sebagai perlambang tetap.
Ciri Umum Arsitektur Tradisional Indonesia
Bentuk Rumah Panggung
Rumah panggung dapat ditemui di hampir setiap daerah di Indonesia. Khusus di Jawa dan Bali, pengaruh India pada zaman Hindu-Buddha mengubah bentuk rumah dengan fondasi tiang menjadi rumah yang dibangun di atas lempeng batu yang ditinggikan. Namun, sebuah relief di Candi Borubudur menjadi bukti adanya bangunan rumah panggung di pulau Jawa masa silam.
Penggunaan tiang sebagai fondasi rumah yang ditinggikan memiliki kelebihan dalam iklim tropis. Tiang ini menyelamatkan rumah dari bencana banjir. Selain itu, celah-celah pada lantai dapat berfungsi sebagai ventilasi saat cuaca panas.
Selanjutnya, api kecil yang dinyalakan di bawah rumah berguna untuk mengusir nyamuk. Asap yang keluar melalui atap ilalang mengawetkan lalang ini. Membersihkan rumah juga dapat dilakukan dengan mudah karena debu dan kotoran dapat disapu melalui lubang-lubang lantai tadi.
Ruang bawah tanah sering digunakan sebagai kandang hewan peliharaan dan tempat menyimpan perkakas, serta menyediakan tempat kerja yang teduh pada siang hari untuk berbagai kegiatan.
Di banyak daerah, tiang-tiang rumah tidak ditancapkan ke dalam tanah, tapi bertumpu pada fondasi batu. Hal ini memberi keluwesan pada rumah sehingga rumah dapat selamat dari gempa. Konstruksi ini juga mempermudah pemilik apabila ia ingin pindah. Rumah tak perlu dibongkar, tapi cukup diangkat dan dipindahkan ke tempat baru.
Di Sulawesi dan Sumatra Utara, terdapat cara lain untuk memantapkan bangunan rumah panggung. Tiang fondasi tidak berdiri tegak, melainkan mendatar dalam posisi bertumpang tindih dan bersilang.
Pemanjangan Bubungan Atap
Pemanjangan bubungan atap banyak dikembangkan di Nusantara, seperti pada rumah-rumah suku Batak Karo, rumah orang Minangkabau , dan juga rumah bangsawan di antara suku Toraja di Sulawesi.
Gaya pemanjangan atap ini merupakan peninggalan peradaban kuno, tapi kemudian diteruskan dalam bentuk-bentuk baru. Bentuk atap ini dimaknai sebagai identitas setempat yang memiliki makna perlambang khusus.
Oleh karena itu, bentuk pemanjangan bubungan atap ini sangat beragam. Rumah Batak Toba, memperoleh garis bubungan memanjang dengan pembentukan sudut kaso bersusun untuk menghasilkan bentuk kipas, yang diperkuat dengan ikatan silang.
Suku Minangkabau menggunakan kerangka dan balok silang dengan banyak kaso dan ikatan kecil untuk membentuk puncak atap yang bentuknya menyerupai tanduk kerbau.
Rumah adat Toraja memiliki bubungan atap lurus yang ditambahkan dengan balok-balok di setiap ujungnya, membentuk sudut ke atas dan keluar untuk kerangka penyangga atap yang membutuhkan dukungan tambahan dari tulak somba (tiang tambahan) yang berdiri tunggal.
Dalam arsitektur tradisional Indonesia, atap apa pun bentuknya merupakan unsur utama. Jika dinding sangat rendah atau bahkan tidak berdinding sama sekali maka atap menjadi sangat dominan, seperti pada rumah tambi di Sulawesi Tengah.
Konstruksi Bangunan
Arsitektur tradisonal Indonesia hampir seluruhnya terbuat dari bahan hayati, seperti kayu, bambu, daun palem, rumput lalang, dan serat tanaman. Bahan-bahan tersebut disusun dengan cara alami dan khas guna memberi perlindungan terhadap penghuninya.
Cara yang dipakai untuk menyusun semua bagian bangunan menggunakan teknik penyambungan yang tergolong canggih tanpa menggunakan paku, bisa dengan diikat ataupun menggunakan pasak kayu. Cara ini membuat rumah menjadi luwes dan kuat, sangat berguna untuk daerah rawan gempa.
Kaso-kaso atap biasanya ditopang oleh lempengan dinding, sering didukung oleh balok-balok dan bubungan. Dengan pola temu-tumpuk ini, beban diteruskan ke struktur bagian lain. Dinding-dinding dan lantai tidak menahan beban, tapi dapat menahan bangunan ini sebagai kesatuan.
Rumah sebagai Perlambang
Rumah dalam arsitektur tradisional Indonesia tidak sekadar berfungsi sebagai tempat tinggal semata. Rumah baik secara keseluruhan maupun bagian-bagiannya menjadi perlambang dan berhubungan erat dengan kepribadian dan pandangan hidup penghuninya.
Rumah dipercaya memiliki nyawa dan karakter tertentu sehingga proses pembangunannya disertai berbagai upacara agar yang menempati dapat hidup selaras dengan yang ditempati. Dari proses pemilihan lokasi, pemilihan bahan bangunan, waktu memulai proses pembangunan, sampai kapan mulai ditinggali, semuanya dilakukan sesuai aturan tertentu.
Bagi orang Indonesia tradisional, rumah merupakan jagad kecil yang menjadi bagian dari jagad raya. Oleh karena itu, tatanan rumah juga mencerminkan tatanan jagad raya. Merujuk pada pemahaman ini, dalam sisi tegak, rumah dibagi menjadi tiga.
Ruang paling atas, yaitu atap beserta ruang tepat di bawahnya, merupakan perlambang dari alam dewa dan leluhur. Ruang tengah atau ruang yang ditinggali mewakili dunia keseharian manusia. Sementara ruang bawah di kolong rumah dihubungkan dengan alam baka yang dihuni oleh roh-roh jahat, jiwa orang mati, dan hal-hal gaib lainnya.