intronesia.id, Jakarta - Bunuh diri di apartemen Teluk Intan, Penjaringan, Jakarta Utara, menorehkan pesan tertentu, yakni ”niat mulia” yang mungkin muncul di benak orangtua untuk menyelamatkan sang anak dari derita dunia. Anggapan ini justru keliru karena memosisikan anak sebagai korban dari tindakan memilukan ini. Pada Sabtu (9/3/2024), satu keluarga yang terdiri atas empat orang melakukan bunuh diri dengan cara melompat dari lantai 21 gedung apartemen dan jatuh di depan lobi apartemen.
Mereka terdiri dari EA (50), AEL (52), JWA (13), dan JL (15). Pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati, Selasa (12/3/2024), menuturkan, peristiwa bunuh diri di apartemen Teluk Intan ini menyiratkan ”niat mulia” orangtua. Mereka beranggapan dengan mengajak serta kedua anaknya untuk mengakhiri hidup, itu berarti melepaskan sang anak dari jeratan masalah setelah kedua orangtuanya tiada.
”Ada kemungkinan orangtua yang tidak ingin anaknya menderita di dunia. Karena itu, lebih baik mereka mati bersama,” ucap Devie. Namun ”niat mulia” itu akhirnya memosisikan anak sebagai korban karena belum tentu kedua anak ini sepakat melakukan tindakan yang orangtuanya inginkan. Di sisi lain, kondisi ini menjadi akumulasi masalah dari dampak hidup individualistis yang kerap muncul di kalangan masyarakat perkotaan.
Dalam masyarakat individualis, ketika ada masalah, mereka cenderung merasa sendiri sehingga rasa frustrasi dan depresi terus menggelayut di benak. Niat bunuh diri pun menyeruak. Situasi ini sebenarnya bisa dipadamkan dengan kepedulian dari keluarga atau tetangga. Bahkan, ada penelitian yang menyatakan bahwa niat bunuh diri seseorang bisa saja berkurang ketika ada orang lain yang menanyakan kabar.
Nyatanya, kepekaan itu serasa telah surut, terutama di masyarakat perkotaan. Penyebabnya tidak lain adalah lingkungan yang tidak mendukung.
Warga di perkotaan cenderung hidup lebih menyendiri dan tidak peduli dengan keberadaan orang lain. ”Warga kota biasanya hidup jauh dari keluarga dan kebanyakan memiliki pekerjaan yang berbeda dengan tetangganya,” kata Devie. Kecenderungan ini yang membuat kepekaan hidup bertetangga seakan berkurang. Lain halnya dengan warga perdesaan yang hidup lebih guyub karena biasanya mereka tinggal dekat dengan kerabat dan tetangga yang ada di sekitarnya memiliki pekerjaan atau hobi yang sama. ”Misalnya kampung nelayan dan kampung petani. Alhasil, ada rasa senasib sepenanggungan.
Karena itu, ketika ada masalah, mereka lebih memilih menyelesaikannya bersama-sama,” katanya. Sebenarnya, masyarakat Indonesia memiliki modal kuat untuk menangkal niat bunuh diri karena dari awal telah memiliki social capital (modal sosial) dan spiritual capital (modal spiritual).
Sebenarnya, masyarakat Indonesia memiliki modal kuat untuk menangkal niat bunuh diri karena dari awal telah memiliki social capital (modal sosial) dan spiritual capital (modal spiritual).
Modal sosial adalah sebuah konsep keyakinan bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Karena itu, semua masalah dapat diselesaikan secara bersama-sama. Di sinilah terbentuk rasa simpati, bahkan empati, ketika ada orang di sekitarnya mengalami masalah. Rasa inilah yang memperkuat hubungan sosial dan akhirnya membentuk kelompok sosial yang saling menguatkan. Adapun untuk modal spiritual berkaitan dengan keimanan dan keyakinan seseorang dalam menjalani hidup. Pada dasarnya, Tuhan pasti akan selalu memberi kekuatan. Jika kedua modal ini terus dipupuk, maka niat bunuh diri lambat laun bisa terkikis.
Di sisi lain, ujar Devie, perlu ada panutan yang bisa menjadi lokomotif masyarakat setempat agar tergerak melakukan sesuatu jika di sekitarnya muncul masalah sosial. Misalnya, ketika ada warga di sekitarnya yang mengalami keterpurukan, sang panutan ini bisa menggerakkan jaringan sosialnya untuk turut membantu. ”Gaya hidup ini terbukti berhasil ketika pandemi. Sayangnya, kebiasaan itu tidak berlanjut,” katanya.