Sunda Kelapa, Pelabuhan yang Menjadi Cikal Bakal Kota Jakarta

28.07.2022 02:52
2-4 menit
Kapal Pinisi yang berlabuh di Sunda Kelapa
Kapal Pinisi yang berlabuh di Sunda Kelapa Danumurthi /Wikipedia

Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan salah satu pelabuhan tertua di Indonesia. Pelabuhan yang menjadi cikal bakal Kota Jakarta itu diperkirakan sudah ada sejak abad ke-5 M. Saat itu, Pelabuhan Sunda Kelapa berada di bawah Kerajaan Taruma Negara.

Sejak abad ke-12, pelabuhan tersebut menjadi milik Kerajaan Hindu Pajajaran. Kerajaan Hindu-Buddha tersebut beribu kota di Pakuan Pajajaran, terletak di Batu Tulis, Bogor. Pada waktu itu, dari Sunda Kelapa, Pakuan Pejajaran bisa dijangkau dalam 2 hari perjalanan menyusuri Sungai Ciliwung.

Sejak dikelola oleh Kerajaan Sunda, Pelabuhan Sunda Kelapa yang memiliki lokasi yang cukup strategis berhasil berkembang menjadi salah satu pelabuhan penting di pulau Jawa.

Tak hanya pedagang-pedagang dari berbagai daerah di Nusantara yang melakukan kegiatan perdagangan di pelabuhan ini, melainkan juga pedagang-pedagang asing dari negeri luar, seperti Tiongkok, Timur Tengah, India, Inggris, dan Portugis.

Menurut kesaksian seorang Portugis, Tomé Pires, yang datang ke Sunda Kelapa pada 1513, pelabuhan tersebut dalam, ramai, dan terkelola dengan baik. Beberapa tahun kemudian, seorang Portugis lainnya, Enrique Lemé, mengunjungi Sunda Kelapa dengan membawa berbagai macam hadiah bagi raja Sunda Surawisesa (A. Heuken, 2016).

Terjalinlah relasi antara bangsa Portugis dengan Kerajaan Sunda melalui suatu perjanjian pada 21 Agustus 1522. Inilah perjanjian internasional pertama di Nusantara. Sebagai tanda perjanjian tersebut, sebuah batu besar ditanam di pantai sebagai tugu peringatan atas perjanjian. Batu yang disebut Padrao itu ditemukan kembali pada 1918 sewaktu dilakukan penggalian untuk membangun rumah baru di pojok Jl. Cengkeh dan Jl. Nelayan Timur.

Orang Portugis kemudian mendapat izin untuk mendirikan sebuah gudang dan benteng di tepi Sungai Ciliwung. Selain itu, orang Portugis juga ingin membeli bahan makanan untuk Benteng mereka di Malaka. Sementara Kerajaan Sunda melihat kehadiran Portugis akan memperkokoh kedudukan mereka dalam urusan perdagangan, terutama untuk produk lada, menandingi posisi Kesultanan Demak di Jawa Tengah.

Tentu saja, hubungan Portugis dengan Kerajaan Sunda dipandang sebagai ancaman oleh Kesultanan Demak. Sebab itu, Demak merencanakan penyerangan atas Sunda Kelapa. Pada 22 Juni 1527, pasukan gabungan dari Kesultanan Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah menyerang Sunda Kelapa. Mereka kemudian berhasil menguasai pelabuhan tersebut, dan mengubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Peristiwa ini kemudian diingat sebagai ulang tahun Kota Jakarta.

Pada 1596, Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman tiba pertama kali di Pelabuhan Sunda Kelapa untuk mencari rempah-rempah. Saat itu, rempah-rempah yang memiliki banyak kegunaan merupakan komoditas utama perdagangan di Eropa.

Pada 1610, Belanda dan Pangeran Jayawikarta atau Wijayakarta, penguasa Jayakarta, membuat suatu perjanjian. Dalam perjanjian tersebut, Belanda diizinkan membuat gudang dan pos dagang di sebelah timur muara Sungai Ciliwung.

Perjanjian tersebut sangat menguntungkan Belanda. Mereka mendapatkan pendapatan yang besar dari penjualan rempah-rempah di Eropa. Melihat besarnya keuntungan yang mereka dapat, Belanda akhirnya memutuskan untuk melakukan ekspansi di Jayakarta. Setelah Jayakarta dikuasai, mereka ganti namanya menjadi Batavia.

Belanda kemudian merenovasi Pelabuhan Sunda Kelapa. Semula pelabuhan Sunda Kelapa hanya memiliki kanal sepanjang 810 m. Kanal tersebut diperpanjang menjadi 1.825 m.

Akan tetapi, memasuki abad ke-19, Pelabuhan Sunda Kelapa mulai sepi karena adanya pendangkalan air di daerah sekitar pelabuhan. Hal tersebut menyulitkan kapal untuk berlabuh. Padahal saat itu Terusan Suez baru saja dibuka. Hal itu seharusnya bisa menjadi peluang besar bagi Pelabuhan Sunda Kelapa untuk dapat berkembang lebih pesat lagi.

Melihat pelabuhan ini tidak bisa memanfaatkan potensi yang diberikan oleh Terusan Suez secara maksimal, Belanda kemudian mencari tempat lain untuk mengembangkan pelabuhan baru. Pilihan kemudian jatuh kepada kawasan Tanjung Priok.

Tanjung Priok kemudian berhasil berkembang menjadi pelabuhan terbesar se-Indonesia. Dengan adanya Pelabuhan Tanjung Priok, peran yang dimainkan Pelabuhan Sunda Kelapa dalam perdagangan Nusantara semakin kecil.

Kini, pelabuhan yang masuk dalam wilayah administratif Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara ini tidak terlihat sesibuk saat masa jayanya. Pelabuhan ini sekarang hanya melayani jasa untuk kapal antarpulau di Indonesia. Kini peran Pelabuhan Sunda Kelapa lebih sebagai situs sejarah karena tingginya nilai sejarah yang dimilikinya.

Bangunan-bangunan peninggalan Belanda yang ada di sekitar wilayah pelabuhan juga dijadikan Museum. Ada beberapa museum di sekitar pelabuhan, seperti Museum Bahari, Museum Fatahillah, dan Museum Wayang.

intronesia logo

intronesia.id adalah patform media digital sebagai opsi ruang informasi yang menyajikan berita dan informasi secara proporsional dan objektif.  "cintai indonesia dengan caramu"

©2024. PT Intro Media Indonesia