Sutan Takdir Alisjahbana (STA) merupakan sastrawan pelopor Angkatan Pujangga Baru. Ia juga dikenal sebagai budayawan dan ahli tata bahasa Indonesia.
Pada 1933, bersama dengan Amir Hamzah dan Armijn Pane, STA mendirikan majalah Pujangga Baru. Meski dengan oplah yang tidak banyak, majalah tersebut banyak memberi pengaruh pada perkembangan sastra dan kebudayaan Indonesia saat itu.
STA juga adalah seorang yang sangat perhatian terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Ia adalah orang yang pertama menulis Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia pada 1936 yang masih digunakan sampai sekarang. Sehabis perang, STA menerbitkan majalah Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952).
Riwayat Hidup Sutan Takdir Alisjahbana
Sutan Takdir Alisjahbana lahir di Sumatra Utara, 11 Februari 1908. Ayahnya bernama Raden Alisjahbana, seorang guru. Ibunya bernama Puti Samiah, seorang Minangkabau keturunan Rajo Putih, salah seorang raja Kesultanan Indrapura. Dari ibunya, STA masih memiliki hubungan saudara dengan Perdana Menteri Pertama Indonesia Sutan Sjahrir.
STA mengenyam pendidikan pertamanya di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Bengkulu tahun 1921. Setelah lulus dari HIS, STA lanjut ke Kweekschool di Bukittinggi.
Pada 1928, STA pergi ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan di Hogere Kweekschool (HKS, sekolah guru tingkat atas). Sembari sekolah, STA sempat bekerja sebagai guru sekolah dasar di Palembang sejak tahun 1928 hingga 1929.
Setelah itu, tahun 1930 ia pindah ke Jakarta dan menjabat sebagai redaktur kepala Penerbit Balai Pustaka. Ia juga menjadi pimpinan majalah Panji Pustaka sejak tahun 1930 hingga 1942.
Di tengah pekerjaannya, STA sempat berkuliah di Rechtshogeschool, sekolah hukum tinggi di Jakarta pada 1937 hingga 1942. Mulai 1940, ia juga mengikuti kuliah di Fakultas Sastra, Universiteit van Indonesie, program studi Ilmu Bahasa Umum, Filsafat Asia Timur dan tamat tahun 1942.
Sejak tahun 1942 hingga 1945, STA bertugas sebagai penulis ahli dan anggota Komisi Bahasa Indonesia di Jakarta.
Pada 1945, STA menjabat sebagai Ketua Komisi Bahasa Indonesia hingga tahun 1950. Masih dalam tahun-tahun itu, STA juga menjabat sebagai Ketua Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan yang kemudian ia diangkat sebagai guru dan Direktur SMA di sana.
Bersamaan dengan menjabat sebagai ketua yayasan, STA bertugas sebagai dosen di Universitas Indonesia untuk mata kuliah bahasa Indonesia sejak 1946 hingga 1948.
Setelah turut mendirikan Universitas Nasional pada 1949, STA menjabat rektor universitas yang berada di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan itu.
Di samping itu, ia menjabat guru besar luar biasa di Akademi Luar Negeri, Jakarta, guru besar di Universitas Andalas, guru besar di Akademi Jurnalistik, guru besar di University of Malaya, Kuala Lumpur, dosen di Fakultas Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dan dosen di Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta.
Pada 1979, STA mendapat gelar Doctor Honoris Causa untuk Ilmu Bahasa dari Universitas Indonesia. Ia juga mendapat gelar Doctor Honoris Causa untuk Ilmu Sastra dari Universiti Sains Malaysia pada 1987.
Mendirikan Pujangga Baru
Tahun 1933, Sutan Takdir Alisjahbana bersama Amir Hamzah dan Armijn Pane mendirikan majalah Pujangga Baru. Terbit setelah Sumpah Pemuda 1928, tujuan dari pendirian majalah ini adalah pembaruan sastra yang sesuai dengan semangat zamannya dan untuk mempersatukan sastrawan.
Majalah Pujangga Baru berdiri sebagai respons atas ketatnya sensor yang terjadi di Balai Pustaka. Majalah ini tercetak terbatas, hanya beroplah 500 eksemplar, dan disebarkan untuk kalangan guru dan kepada mereka yang memiliki perhatian terhadap kebudayaan dan kesusastraan.
Namun, perjalanan Pujangga Baru tidaklah mudah. Kerugian sering dialami ketika melakukan percetakan. Dari 500 eksemplar yang dicetak, hanya 150 orang yang membayar, dan semua kerugian ini ditanggung STA dan Amir Hamzah sendiri sepenuhnya. Selain itu, tidak ada honor untuk penulis dan tim redaksi.
Akan tetapi, pada dasarnya mereka sendiri pun sadar bahwa Pujangga Baru tidak diterbitkan untuk mendulang keuntungan, tetapi sebagai alat realisasi cita-citanya pada kebudayaan.
Meski beroplah sedikit, tetapi majalah sastra dan kebudayaan ini besar pengaruhnya. Banyak ahli yang menyumbang tulisan, di antaranya Prof. Husein Djajadiningrat, Mariah Ulfah Santoso, Amir Sjarifuddin, Mr. Sumanang, dan Poerwadarminta. Ada sekitar 20 orang yang ikut dalam gerakan pembaruan melalui penerbitan majalah ini (Erowati & Bahtiar, 2011).
Pujangga Baru berhenti terbit karena dilarang oleh pemerintah Jepang karena sifatnya yang kebarat-baratan. Setelah kemerdekaan, majalah sempat kembali terbit. Pada 1953, STA menghentikan penerbitannya dan menggantinya dengan majalah Konfrontasi.
Polemik Kebudayaan
Dalam majalah Poejangga Baroe, STA menampilkan beberapa tulisan yang berorientasi pada pendiriannya, yaitu pembaruan ala Barat. Tulisannya yang berjudul “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” yang mendorong masyarakat Indonesia untuk belajar pada Barat menimbulkan perdebatan.
Dalam esainya, STA menegaskan tentang lahirnya zaman Indonesia Baru, yang bukan sekali-kali dianggap sambungan dari generasi Mataram, Minangkabau atau Melayu, Banjarmasin, ataupun Sunda. STA memandang Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Sriwijaya, Majapahit, Borobudur, dan gamelan sebagai bagian dari pra-Indonesia, bukan Indonesia.
STA mendefinisikan Indonesia sebagai suatu masyarakat yang sudah menyadari semangat keindonesiaan dan kesadaran bersatu. STA mengingatkan bahwa kesadaran dan semangat keindonesiaan merupakan ciptaan generasi abad ke-20, yang faktanya telah memperoleh pendidikan Barat.
Maka, Indonesia merupakan sebuah gagasan baru, hasil dari pemikiran rasional. Gagasan ini jauh lebih baik daripada segala teori keturunan yang merupakan bagian dari pra-Indonesia. Sebab itu, Indonesia tak perlu terus dikaitkan dengan pra-Indonesia. Bahkan STA mengingatkan, usaha mengaitkan ke masa silam justru akan membangkitkan perselisihan primitif yang mewarnai masyarakat pra-Indonesia.
Sebaliknya, menurut STA, Indonesia justru harus fokus membabat kekurangan yang terdapat di masyarakat di pra-Indonesia, terutama lemahnya intelektualisme. Untuk itulah, kita perlu belajar ke Barat.
Maman S. Mahayana menulis, beberapa pandangan STA dalam tulisan itu kontroversial. Itu sebabnya, bermunculan banyak kritik terhadap esai itu, di antaranya dari Sanusi Pane, Poerbatjaraka, Armijn Pane, dan Ki Hadjar Dewantara. Porbatjaraka bahkan menyebut pikiran STA tentang sejarah sebagai waringin sungsang, yaitu pohon beringin yang akarnya ke atas.
Banyak tulisan bermunculan menanggapi pemikiran STA. Utamanya tentang kebudayaan Indonesia dan bagaimana Indonesia menyikapi kebudayaan masa lalu berhadapan dengan kebudayaan baru (Barat). Tulisan mereka kemudian yang dihimpun Achdiat K. Mihardja dalam buku Polemik Kebudayaan yang terbit pada 1948.
Upaya mengembangkan bahasa Indonesia
Semasa pendudukan Jepang, STA sempat menjadi Ketua Komisi Bahasa. Ia melakukan modernisasi terhadap bahasa Indonesia sehingga dapat berperan sebagai bahasa nasional yang menjadi pemersatu bangsa. Cita-cita terbesarnya adalah menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di kawasan Asia Tenggara.
STA merupakan orang pertama yang menulis Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia yang digunakan sampai sekarang. Ia juga menerbitkan kamus istilah yang berisi istilah-istilah baru yang dibutuhkan oleh negara baru yang hendak mengajar modernisasi dalam berbagai bidang.
STA berpandangan bahwa bahasa Indonesia harus mampu melayani kebutuhan manusia modern, selaras dengan perkembangan ilmu serta teknologi.
Ia juga menilai, Bahasa Indonesia bisa memayungi segala macam bidang dan memudahkan penyebaran pengetahuan lewat kerja penerjemahan. Baginya, ilmu pengetahuan, termasuk bahasa, harus bisa membawa terang dan menjawab berbagai persoalan hidup.
---
Artikel ini telah diterbitkan di website 1001indonesia dengan judul: Sutan Takdir Alisjahbana, Sastrawan Pelopor Angkatan Pujangga Baru