Ada tiga masjid terkenal di kota Medan, Sumatra Utara, karena nilai sejarahnya, yaitu Masjid Raya Al-Mashun atau Masjid Raya Medan, Masjid Lama Gang Bengkok, dan Masjid Raya Al-Osmani.
Dari ketiga masjid tersebut, Masjid Lama Gang Bengkok memiliki keistimewaan. Masjid yang atapnya mirip bangunan kelenteng dan dibangun oleh seorang Tionghoa nonmuslim ini menjadi tanda terjadinya pembauran antara etnis Tionghoa dengan etnis Melayu.
Masjid Lama Gang Bengkok terletak di Kampung Kesawan, sebuah kampung di kota Medan yang memiliki banyak bangunan tua sebagai sejarah pembauran multietnis. Jalan Ahmad Yani yang menjadi lokasi masjid ini disebut juga sebagai Jalan Kesawan. Dulu, pada abad 19, hampir seluruh area ini milik Haji Mohammad Ali, yang dipanggil Datuk Kesawan.
Datuk Kesawan ini juga yang memberikan tanah wakaf untuk dibangun masjid. Sementara yang membangun adalah seorang saudagar kaya nonmuslim, Tjong A Fie. Proses pembangunan yang dilaksanakan pada 1890 ini sempat menuai kontroversi. Namun, karena mendapat izin dari pihak Kesultanan Deli, pembangunan diteruskan. Setelah selesai, kepengurusan masjid diserahkan ke pihak Kesultanan Deli.
Arsitektur Masjid Lama Gang Bengkok merupakan paduan antara arsitektur Tiongkok, Persia, Romawi, Timur Tengah, dengan ornamen Melayu. Bentuk bangunannya, terutama bagian atasnya, mirip dengan kelenteng. Atapnya melengkung dan terdapat empat tiang setebal setengah meter yang menopang seluruh bangunan. Di bagian atas tiang terdapat patung buah jeruk dan anggur, salah satu ciri khas arsitektur Tiongkok. Juga ada yang berbentuk stupa seperti di candi-candi.
Namun, semuanya akan berubah ketika memasuki bagian dalamnya. Terdapat mimbar terbuat dari kayu khas Timur Tengah. Mimbar ini memiliki tangga undakan bertingkat 13, digunakan sebagai tempat Khotbah sebelum Salat Jumat. Budaya Timur Tengah juga tampak pada gapura masjid.
Budaya Melayu terlihat dari dominasi warna kuning dan hijau serta sejumlah ornamennya. Di plafon masjid terdapat umbai-umbai, yaitu ornamen yang disebut ‘lebah bergantung’. Ukiran ini dibuat dari kayu, berbentuk semacam tirai berwarna kuning.
Tidak seperti umumnya masjid lain, Masjid Lama Gang Bengkok tidak memiliki nama Arab. Dinamakan Gang Bengkok karena dulu masjid berada di lokasi gang yang bentuknya bengkok. Sekarang gang tersebut sudah menjadi jalan besar yang ramai dilalui kendaraan. Disebut masjid lama karena memang sudah berdiri sejak dulu, ketika Sultan Deli, Sultan Makmun Al Rasyid, naik tahta.
Masjid ini juga tidak memiliki ornamen kaligrafi Arab. Namun, tidak jadi masalah. Baik dari segi pembangunnya, nama yang dipakai, serta perpaduan budaya dalam arsitektur dan ornamennya justru menjadi tanda adanya hubungan yang harmonis antaretnis di kota Medan, terutama antara etnis Melayu dan Tionghoa. Perbedaan tidak menjadi halangan untuk hidup bersama dan saling membantu.
Misalnya, pada saat kerusuhan Mei 1998. Saat itu, kondisi Medan mencekam. Ada isu penyerangan terhadap etnis Tionghoa. Di kampung ini, etnis Melayu-lah bergerak untuk mengevakuasi etnis Tionghoa ke Kesawan, berlindung di Mesjid Lama Gang Bengkok.
Sampai saat ini, masjid bersejarah ini terus mempertahankan maknanya sebagai simbol persatuan dan persaudaraan antaretnis. Warga etnis Tionghoa pun tak segan-segan ikut merawat masjid ini.