Sutan Sjahrir: Simbol Demokrasi dan Pejuang Kemanusiaan

07.11.2024 10:47
2-4 menit
Sutan Sjahrir
Sutan Sjahrir Nationaal Archief Nederlands

Di balik perawakannya yang terbilang mungil dengan tinggi hanya sekitar 1,60 sentimeter, Sutan Sjahrir memberikan sumbangsih besar bagi Indonesia. Menurut wartawan senior Rosihan Anwar dalam Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan (2010), julukan “Bung Kecil” bagi Sutan Sjahrir disematkan kala ia menjabat sebagai Perdana Menteri.

Lepas dari tampilan fisiknya itu, Sutan Sjahrir adalah tokoh besar. Ia adalah pahlawan nasional yang turut menentukan dan memberi arah pada arus revolusi Indonesia dalam suatu kurun sejarah yang penuh emosi dan kekacauan.

Jangka waktu hidupnya hanya 57 tahun. Tapi dalam kurun itu, berbagai tantangan dan perjuangan ia lalui dengan tegar. Ia tumbuh sebagai manusia utuh. Ia menjadi korban orang yang bersikap tak acuh dan membencinya, sekaligus menjadi pujaan banyak orang yang mengagumi dan mencintainya.

Sutan Sjahrir lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, 5 Maret 1909. Sejak kecil, ia dikenal cerdas, berpikir tajam, kritis, dan lebih mengutamakan pengertian ketimbang menghafal pelajaran. Ia menonjol dalam pelajaran sejarah dan bahasa Latin, berkat buku bacaan bahasa Latin yang mengandung filsafat dan sejarah Kerajaan Romawi dan Yunani.

Di Kota Kembang, Sjahrir aktif di Jong Indonesie yang kemudian berubah menjadi Pemuda Indonesia. Ia juga aktif Perhimpunan Indonesia yang kelak berperan penting dalam jurnal Daulat Rakyat. Ia pun bergiat di perkumpulan sandiwara Batovis dan dikenal sebagai pemeran sandiwara dengan penjelajahan intelektual yang luas pada bidang kesusastraan.

Sjahrir merupakan tipikal orang yang suka ngobrol dengan khalayak. Temanya bisa apa saja, mulai dari soal pergerakan pemuda, ekonomi, hingga kebudayaan. Saban pagi, seperti kenang Hatta dalam Memoir, antara pukul 7–8 pagi selama di Banda Neira, Maluku, mereka selalu berbincang tentang berbagai hal di beranda rumah yang mereka sewa selama di pengasingan.

Namun, Sjahrir sempat benar-benar merasa terasing di pulau pembuangan itu. Sebab, hobinya mengobrol dengan kawan-kawan yang biasa ia lakukan, tak bisa ia kerjakan saat di pengasingan. Untunglah Hatta dan Sjahrir masih bisa berkunjung ke rumah Iwa Kusuma Sumantri dan Tjipto Mangoenkoesoemo setiap akhir pekan untuk sekadar bertukar pikiran.

Di tempat itu pula, Sjahrir berkenalan dengan keluarga Baadilla hingga memiliki tiga anak angkat dari keluarga itu dan mengajari mereka bahasa Belanda. Sjahrir pun berhasil melewati masa-masa sepi selama di pembuangan.

Sjahrir adalah sosok yang terus berproses dan optimis pada kebebasan manusia. Baginya, kemerdekaan nasional bukanlah akhir dari pencapaian kebangsaan, meskipun sungguh menggembirakan. Tujuan akhir dari perjuangan politiknya adalah terbukanya ruang bagi rakyat untuk memunculkan bakatnya dalam kebebasan. Tanpa halangan. Baginya, kemerdekaan adalah sebuah jalan menuju cita-cita itu. Itu sebabnya, ia menganggap nasionalisme harus tunduk kepada kepentingan demokrasi.

Sebagai pemikir, Sjahrir sangat lugas dalam membicarakan sosialisme. Isu ini sangat menonjol pada pemikirannya, selain juga pada Tjokroaminoto dan Mohammad Hatta. Jika Tjokro merumuskan tiadanya pertentangan bahkan kesejajaran antara cita-cita Islam dan sosialisme. Maka Hatta lebih memperhatikan perumusan versi ekonomi dari sosialisme Indonesia dalam bentuk koperasi.

Sedangkan Sjahrir mencoba menyelamatkan unsur rakyat dalam suatu masyarakat melalui dua cara. Pertama, dengan mengintegrasikan sosialisme Indonesia ke dalam tradisi politik sosial-demokrat. Kedua, dengan mengintegrasikan paham kebangsaan ke dalam paham kemanusiaan universal.

Di dasar hatinya, Sjahrir mendambakan kebebasan bagi setiap orang, yaitu individu-individu yang menggunakan akal dan pikirannya dalam bertindak dan bertanggung jawab atas tindakannya masing-masing.

Gagasan tersebut berangkat dari kecemasan Sjahrir akan kembalinya feodalisme lama atau fasisme terselubung dalam politik Indonesia. Ia khawatir bahwa kemerdekaan nasional justru memberi kesempatan kepada para pemimpin politik untuk menjadi raja-raja versi baru yang tetap membelenggu rakyatnya dalam ketergantungan dan keterbelakangan.

Karena itu, selain revolusi nasional, dibutuhkan juga revolusi sosial yang dia namakan revolusi kerakyatan.

Tulisan-tulisan ataupun tindakan-tindakan Sjahrir mencerminkan keyakinan bahwa kemerdekaan nasional hanya jembatan untuk mencapai tujuan-tujuan perjuangan kebangsaan lainnya, yaitu kerakyatan, kemanusiaan, kebebasan dari kemelaratan dan tekanan dan pengisapan, keadilan dan pembebasan bangsa dari genggaman sisa-sisa feodalisme.

Sutan Sjahrir wafat di Zurich, Swiss, pada 9 April 1966 saat masih sebagai tahanan politik rezim Presiden Soekarno. Selama hidupnya, ia sempat menjabat sebagai Perdana Menteri (1945–1947), Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) merangkap Ketua Badan Pekerja KNIP (1945), Duta Besar Keliling RI (1947), Ketua Umum Partai Sosialis Indonesia (1948–1960), dan Pahlawan Nasional (1966).

Namun, seiring waktu, namanya mulai tersisih dan terlupakan. Penulis biografi Sjahrir, Politics and Exile in Indonesia, Rudolf Mrazek, di bab penutup secara prematur menuturkan bahwa Sjahrir mulai dilupakan karena mereka yang mengenal dan mengaguminya satu per satu meninggal.

intronesia logo

intronesia.id adalah patform media digital sebagai opsi ruang informasi yang menyajikan berita dan informasi secara proporsional dan objektif.  "cintai indonesia dengan caramu"

©2024. PT Intro Media Indonesia