Muhammad Hatta atau yang lebih dikenal sebagai Bung Hatta adalah salah seorang pemimpin besar Republik Indonesia. Nama Bung Karno sebagai bapak bangsa tampak kurang jika tidak menyebutkan nama Bung Hatta di sebelahnya. Sebagai salah seorang proklamator, nama beliau selalu disandingkan dengan Bung Karno sehingga seringkali keduanya diistilahkan sebagai Dwi Tunggal negara ini. Dua figur dalam satu cita-cita keindonesiaan.
Bung Hatta lahir di Bukit Tinggi, Sumatera Barat pada tanggal 12 Agustus 1902 dari pasangan Muhammad Jamil dan Siti Saleha. Nama yang diberikan ayahnya sebenarnya adalah Muhammad Athar. Athar sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti harum. Sayangnya sang Ayah meninggal ketika Hatta baru berusia tujuh bulan. Namun di kemudian hari sang ibu menikah lagi dengan seorang pedagang bernama Agus Haji Ning.
Sebagai seorang anak yang tumbuh di masa penjajahan Belanda, jiwa nasionalis Hatta lahir secara alamiah. Ia melihat banyak penindasan para penjajah terhadap kaumnya.
Dalam memoirnya, ia menceritakan bagaimana ia melihat perlakuan para penjajah terhadap orang-orang bumi putera. Kebetulan rumah Hatta dekat dengan jembatan desa Kamang, di situ ia melihat pemeriksaan oleh para petugas Belanda yang kerap kali tidak manusiawi pada orang yang mau lewat. Inilah titik balik bagi Hatta kecil untuk memulihkan keadaban bangsanya kelak.
Hatta mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat sebelum akhirnya melanjutkan ke ELS di Bukit Tinggi dan menamatkannya di tahun 1913. Tamat dari ELS, ia masuk Mulo dan berhasil menamatkannya di tahun 1917.
Kesadaran politik Hatta mulai terbangun kuat saat ia bersekolah di Mulo. Saat itu, ia gemar sekali menyantap berita politik yang tengah terjadi di Volksraad. Sejak usia 16 tahun, kesadaran politik dan cita-cita kemerdekaan sudah melekat di dalam diri Hatta, tak heran jika di tahun 1918 ia dipilih menjadi bendahara Jong Sumatranen Bond, yang kemudian berganti nama menjadi Pemuda Sumatra.
Kritisisme Hatta semakin luas dan dalam saat ia di kemudian hari melanjutkan studi di Handels Hogeschool, Belanda dari tahun 1921–1932. di tahun-tahun perkuliahannya, ia ikut bergabung dengan organisasi sosial IndischeVereniging, yang di kemudian hari justru menjadi organisasi politik. Di situ ia terlibat sebagai bendahara dan juga pengasuh majalah Hindia Putera, yang di kemudian hari berubah nama menjadi Indonesia Merdeka.
Di sekitar tahun 1926, ia diangkat menjadi pimpinan Perhimpunan Indonesia, sebuah wadah bernaung mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Belanda. Jabatan ini disandangnya hingga tahun 1930. Keaktifan Hatta dalam gerakan membuat ia ditangkap oleh pemerintah Belanda di tahun 1927 dan dijatuhi hukuman selama tiga tahun.
Saat Hatta selesai dengan studinya dan kembali ke Indonesia, ia kembali ditangkap bersama Sjahrir. Di tahun 1934. Ia pun dibuang ke Digul dan Banda Neira. Di masa pembuangan itulah Hatta aktif menulis untuk koran-koran.
Di masa pendudukan Jepang, nama Hatta adalah salah satu tokoh selain Soekarno yang didekati. Jepang berharap dapat mengambil simpati rakyat melalui Hatta. Meski demikian, cita-cita kebangsaan Hatta tak dapat dilemahkan oleh bujuk rayu Jepang. Ia dan Soekarno akhirnya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Kepercayaan akhirnya diberikan pada Bung Hatta untuk mendampingi Bung Karno sebagai wakil presiden Indonesia pertama pada tanggal 18 Agustus 1945. Mereka bersama-sama membangun pondasi kebangsaan dan konstitusi negara Indonesia.
Saat sistem negara berubah menjadi Republik Indonesia serikat, lelaki asal Bukit Tinggi ini tetap dipercaya untuk menjadi Perdana Menteri, sebuah jabatan prestisius untuk menjalankan roda pemerintahan. Ia memimpin kabinet Hatta I dan kabinet Hatta II.
Namun demikian, setelah Indonesia meninggalkan bentuk serikat dan kembali menjadi negara kesatuan, di tahun 1956 Hatta akhirnya mundur dari jabatan wakil presiden karena beda pandangan dengan Sukarno.
Kedekatan antara Sukarno dan Hatta memang selalu diagungkan, laksana dua sisi mata uang, mereka adalah satu bagi bangsa ini. Kedekatan secara personal keduanya terlihat saat Soekarno melamar Rahmi untuk menjadi istri Hatta hingga akhirnya mereka menikah tanggal 18 November 1945. Saat itu usia Hatta sudah 43 tahun. Namun demikian dalam kancah politik Hatta lebih terkesan “kalem” dibandingkan Sukarno yang menggelegar itu.
Hatta meninggal pada tanggal 14 Maret 1980, pada usia 78 tahun. Setelah beberapa tahun keluar masuk rumah sakit. Meski demikian, nama Hatta tak sefana tubuhnya. Namanya tetap abadi sebagai negarawan dan pejuang kemerdekaan.
Hatta adalah pemikir pejuang, perlawanannya disampaikan melalui kata-kata yang tertoreh dalam tulisan-tulisannya. Sejak awal keterlibatannya dalam pergerakan, cita-cita kemerdekaan menjadi gagasan sentral Hatta bagi Indonesia. Dalam pledoinya yang berjudul “Indonesia Vreij” di pengadilan Belanda, ia mengatakan:
“Cahaya merah masa depan sudah mulai bersinar dalam kekinian. Kami menyambutnya sebagai fajar menyingsing. Pemuda Indonesia harus ikut mengemudikan dalam jurusan yang dikehendaki. Pemuda mempunyai tugas tibanya hari baru. Dia harus mengajarkan pada rakyat kami kegembiraan kehidupan; tidak hanya kesengsaraan boleh menjadi bagiannya. Bahwa bangsa Indonesia boleh merasa diri bebas di bawah langit birunya dan bahwa dia merasa tuan dan merdeka dalam negerinya yang diberikan oleh Tuhan.”
Jelaslah kiranya merdeka merupakan tema sentral perjuangan Hatta masa muda. Namun demikian merdeka pun tak cukup. Bagi Hatta mewujudkan kesejahteraan bersama adalah hal terpenting setelah Indonesia merdeka.
Untuk itulah, maka Bung Hatta menggagas pemikirannya tentang koperasi bagi Indonesia. Gagasan inilah yang membuat Hatta kemudian menyandang gelar sebagai bapak koperasi Indonesia. Melalui koperasi, pembangunan ekonomi kerakyatan yang menjadi landasan keadilan sosial, menurut Hatta, dapat terlaksana.
Pemikiran ekonomi Hatta pun dapat dicirikan menjadi:
- Menjamin kemakmuran bersama
- Perpaduan antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi
- Sosialisme koperatif
- Peran negara yang kuat dalam politik perekonomian
- Semangat percaya pada kemampuan diri sendiri
Dari kelima ciri ekonomi ala Bung Hatta dapat dilihat tumpuan nasionalisme yang kuat untuk membangun sebuah bangsa menjadi bangsa besar, yang memanusiakan warganya.
Nama besar Hatta memang tak dapat dilupakan begitu saja. Selain warisan gagasan yang masih relevan, nama besar Hatta terpatri di hati banyak orang. Di Indonesia nama Hatta dan Sukarno diabadikan menjadi nama bandar udara di Jakarta. Di luar negeri, untuk mengenang sosok Hatta, pemerintah Belanda menjadikan namanya sebagai nama sebuah jalan Mohammed Hattastraat.