Mohammad Husni Thamrin, Pahlawan Betawi yang Gigih Memperjuangkan Nasib Rakyat

03.11.2023 04:58
3-5 menit
MH Thamrin, yang juga dikenal sebagai Mat Seni, lahir pada 16 Februari 1894 dari pasangan Tabri Thamrin, seorang pejabat pemerintahan Belanda, dan Nurchomah, seorang perempuan Betawi.
MH Thamrin, yang juga dikenal sebagai Mat Seni, lahir pada 16 Februari 1894 dari pasangan Tabri Thamrin, seorang pejabat pemerintahan Belanda, dan Nurchomah, seorang perempuan Betawi. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia

Mohammad Husni Thamrin, atau MH Thamrin, adalah seorang politisi pada masa Hindia Belanda yang dikenal karena perjuangannya memperbaiki nasib rakyat kecil. Meskipun berasal dari keluarga berada, Thamrin memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kaum buruh, terutama saat ia menjadi anggota Volksraad.

MH Thamrin, yang juga dikenal sebagai Mat Seni, lahir pada 16 Februari 1894 dari pasangan Tabri Thamrin, seorang pejabat pemerintahan Belanda, dan Nurchomah, seorang perempuan Betawi. Meskipun lahir dalam keluarga berkecukupan, Thamrin memiliki kepedulian yang tinggi terhadap rakyat dan sering menyuarakan penderitaan yang dialami oleh mereka.

Thamrin memperlihatkan kepeduliannya terhadap nasib rakyat yang tertindas ketika ia menjadi pejabat legislatif di Gemeenteraad (Dewan Kota) dan Volksraad (Dewan Rakyat). Sikap kritisnya muncul dari pendidikan modern yang ia terima.

Meskipun Thamrin tidak menempuh pendidikan universitas, ia memiliki kecerdasan yang luar biasa dan belajar secara otodidak dari berbagai sumber untuk meningkatkan pengetahuannya. Ia juga mampu menikmati fasilitas pendidikan yang layak hingga tingkat menengah atas di Koning Willem III School te Batavia.

Perjalanan karier Thamrin dimulai dari kantor kepatihan, kantor keresidenan, dan Maskapai Pelayaran Belanda (KPM). Melalui perkenalannya dengan seorang sosialis bernama Daniel van der Zee, yang fasih berbahasa Belanda, Thamrin kemudian berkarier di Gemeenteraad. Pada usia yang masih muda, sekitar 25 tahun, ia menjadi anggota termuda dalam dewan tersebut.

Di Gemeenteraad, Thamrin berjuang agar pemerintah memperhatikan pentingnya perbaikan kota, terutama di perkampungan rakyat. Ia mengingatkan pemerintah kotapraja tentang kondisi buruk masyarakat yang tinggal di kampung-kampung yang tidak bersih akibat kurangnya pengelolaan sampah.

Perjuangan Thamrin untuk kesejahteraan rakyat sangat dihargai oleh warga Batavia. Pada tahun 1923, ia diangkat menjadi ketua Organisasi Kaum Betawi yang bertujuan untuk memajukan perdagangan, pendidikan, dan kesehatan masyarakat Betawi.

Pada tanggal 16 Mei 1927, MH Thamrin menjadi anggota Volksraad. Sebagai anggota Volksraad, ia tidak hanya memperjuangkan nasib masyarakat Betawi, tetapi juga masyarakat Hindia secara umum. Salah satu isu yang ia perjuangkan adalah hak kesehatan dan gaji yang pantas bagi kaum buruh.

Suatu hari, Thamrin dan Koesoemo Oetojo melakukan kunjungan ke Sumatra Timur untuk melihat langsung kondisi buruh yang bekerja di perkebunan tembakau Deli. Mereka terkejut melihat kondisi yang memprihatinkan. Buruh dituntut untuk bekerja berat, tetapi kondisi sosial mereka sangat buruk. Di sekitar pemukiman buruh, terdapat tempat perjudian dan tempat minum-minum yang merusak. Banyak buruh, terutama kuli kontrak, terjebak dalam utang.

Selain itu, ada juga Poenale Santie, sebuah aturan yang sangat memberatkan kehidupan buruh. Aturan ini dibuat pada tahun 1880 dan diperbarui pada tahun 1889, yang memungkinkan pemerintah kolonial memberikan hukuman tanpa melalui proses pengadilan kepada buruh yang melanggar kontrak. Hukuman yang diberikan berupa hukuman badan, seperti cambuk atau rotan, yang sangat tidak manusiawi.

Thamrin dan Koesoemo Oetojo membawa persoalan ini ke sidang Volksraad pada tanggal 27 Januari 1930. Dalam pidatonya yang tajam, Thamrin mengkritik perlakuan buruk terhadap buruhdan menyerukan perlunya perubahan dalam kondisi kerja dan perlindungan bagi buruh. Pidatonya sangat berpengaruh dan menjadi sorotan publik.

Eropa dan Amerika Serikat mengeluarkan reaksi keras dan mengancam akan memboikot tembakau-tembau dari Deli. Ancaman tersebut membuat pemerintah kolonial Belanda terpaksa mencabut aturan yang sangat memberatkan kehidupan buruh di Sumatera Timur tersebut.

Langkah MH Thamrin tidak berhenti pada perjuangan membela nasib buruh. Ia yang menjabat sebagai wakil ketua Partai Indonesia Raya (Parindra) setelah Dokter Sutomo meninggal pada 1938 dengan gigih memperjuangkan agar istilah “Inlander” diganti dengan “Indonesia” atau “Indonesisch”.

Rasa nasionalismenya sangat besar, meskipun ia keturunan Inggris. Ia bahkan tak mau mengibarkan bendera Belanda di rumahnya saat ulang tahun Ratu Wilhelmina.

Bersama Sam Ratulangi, Ki Hajar Dewantara, dan tokoh lainnya, ia juga memperjuangkan penghapusan larangan sekolah swasta, seperti Taman Siswa dan Muhammadiyah, yang berhasil dicapai pada 1933.

Bersama Soetardjo, Thamrin juga pernah mengajukan petisi untuk menuntut “Indonesia berperlemen” pada 1935. Mereka tidak puas dengan keberadaan Volksraad yang cuma menjadi “tukang stempel” pemerintah kolonial saja. Tentu saja tuntutan dalam petisi yang dikenal dengan Petisi Soetardjo itu ditolak pemerintah kolonial.

Thamrin juga merupakan tokoh yang sangat berjasa dalam perkembangan sepak bola di Indonesia. Pada 1932, ia menyumbangkan dana sebesar 2.000 gulden untuk mendirikan lapangan sepak bola. Lapangan sepak bola tersebut menjadi yang pertama yang dibangun untuk rakyat Hindia. Letak lapangan tersebut di daerah Petojo, Batavia.

Sebelum perang Pasifik berkobar, Menteri Perdagangan Jepang Kobajashi berkunjung ke Jakarta. Tujuannya untuk menuntut konsesi yang lebih besar dalam pembelian minyak bumi dan batu bara yang dihasilkan Hindia Belanda. Koran-koran memuat pernyataan Kobajashi bahwa Jepang berminat meluaskan pengaruhnya di Hindia Timur. Untuk itu, Jepang memerlukan dukungan rakyat Hindia.

Tak pelak lagi, pemerintah kolonial Belanda mencurigai pihak-pihak yang dituduh pro-Jepang, termasuk MH Thamrin. Ia dikenai tahanan rumah pada 6 Januari 1941 karena dianggap berkhianat kepada pemerintah Belanda dan bersekongkol dengan Jepang.

Lima hari kemudian, tepatnya pada 11 Januari 1941, Mohammad Husni Thamrin meninggal secara mendadak. Ia lalu dikebumikan di Karet.

Berkat jasa-jasanya, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahinya gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional berdasarkan SK No. 175/1960. Semenjak 19 Desember 2016, sosok pahlawan nasional dari Betawi ini terpampang dalam mata uang kertas Rp.2000.

Peninggalan dan pengaruh MH Thamrin masih dirasakan hingga saat ini. Ia dihormati sebagai salah satu tokoh pergerakan nasional yang berjuang untuk keadilan sosial dan kemerdekaan Indonesia. Nama MH Thamrin diabadikan dalam berbagai tempat, seperti Jalan MH Thamrin di Jakarta, yang merupakan salah satu jalan utama di ibu kota Indonesia.

---

Referensi:

intronesia logo

intronesia.id adalah patform media digital sebagai opsi ruang informasi yang menyajikan berita dan informasi secara proporsional dan objektif.  "cintai indonesia dengan caramu"

©2024. PT Intro Media Indonesia