intronesia.id, Jakarta – Pengamat politik Yunarto Wijaya menilai politik identitas yang sifatnya mengkapitalisasi perbedaan di tengah masyarakat untuk kepentingan politik, berpotensi membahayakan pemilu.
“Apapun penggunaan-penggunaan simbol identitas menurut saya itu akan menurunkan kualitas dari pemilu dan berpotensi memecah belah,” ujar Yunarto.
Juru bicara DPP Partai Ummat, Mustofa Nahrawardaya, menyangkal hal tersebut. Ia mengatakan bahwa selama ini, istilah politik identitas sering disalahartikan oleh sejumlah pihak demi menyudutkan partai-partai yang secara terang-terangan menggunakan politik identitas.
“Saya duga keras [mereka] sengaja dihembuskan dengan narasi sesat, sehingga menyebabkan masyarakat ikut salah jalan. Menyebabkan kebencian ada di mana-mana. Politik Identitas sengaja dipakai untuk menakut-nakuti orang Islam dalam berpolitik,” jelas Mustofa.
Ketua Umum Partai Ummat, Ridho Rahmadi, menyatakan bahwa Partai Ummat secara terang-terangan menyatakan bahwa mereka akan menggunakan politik identitas dalam menghadapi Pemilu 2024.
“Kita akan secara lantang mengatakan, 'Ya, kami Partai Ummat, dan kami adalah politik identitas'," kata Ridho kepada media.
Menurut Ridho, tanpa moralitas agama, politik akan kehilangan arah. Oleh karena itu, ia merasa agama dan politik perlu disatukan.
"Kita akan jelaskan tanpa moralitas agama, politik akan kehilangan arah dan terjebak dalam moralitas yang relatif dan etika yang situasional. "Ini adalah proyek besar sekularisme, yang menghendaki agama dipisah dari semua sendi kehidupan, termasuk politik," kata dia.
Partai Ummat adalah salah-satu dari 18 partai politik yang berhak mengikuti Pemilu 2024. Menanggapi pengakuan Partai Ummat yang menyebut diri mereka politik identitas, Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, mengatakan pihaknya akan memberi teguran keras untuk partai tersebut.
"Kami akan tegur yang bersangkutan kalau ngomong seperti itu, kita punya keprihatinan bersama, kita punya concern bersama untuk tidak menggunakan politisasi identitas," kata Rahmat Bagja kepada wartawan, Senin (20/2).
Dosen ilmu politik dari Universitas Indonesia, Aditya Perdana, mengatakan politik identitas adalah upaya yang dilakukan para politisi untuk memanfaatkan identitas tertentu untuk memperoleh keuntungan politik. Identitas yang dimaksud dalam hal ini dapat mencakup ras, suku, agama, jenis kelamin, atau aspek lainnya yang terikat pada identitas.
“Karena pemilih kita kalau disurvei itu punya kecenderungan dia akan lebih memilih atas dasar kedekatan emosional. Karena sama-sama berasal dari suatu etnis yang sama, afiliasi kelompok yang sama, ormas yang sama misalkan. Sehingga kapan pun itu bisa terjadi di setiap even politik,“ ujar Aditya.
Menurut dia, politik identitas paling sering muncul menjelang ajang pemilihan Presiden.
“Karena para politisi itu ketika memanfaatkan identitas, dia punya ekspektasi nanti suaranya akan banyak, atau dapat pergeseran suara dari kandidat lain,” katanya.
Sementara, Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya, mengatakan bibit-bibit politik identitas merupakan sesuatu yang memang ada di masyarakat negara manapun, bukan hanya di Indonesia.
“Kalau kita bicara Amerika Serikat sebagian pendukung Trump juga menggunakan politik identitas itu. White Supremacy, atau Anglo-saxon Protestan misalnya. Atau pada saat Jair Bolsonaro maju di Brazil itu juga terjadi pada skala tertentu,” ungkapnya.
Ia menjelaskan bahwa di sejumlah negara-negara Eropa dan juga Australia, adapun partai-partai politik yang secara terbuka mengedepankan warga ras kulit putih atau yang disebut dengan White Supremacy. Menurut dia, kampanye politik seperti itu berbahaya karena berpotensi memecah-belah masyarakat yang terlalu mudah terbawa emosi dan sentimen identitas pribadi mereka.
“Akhirnya perbedaan itu akhirnya bisa berakibat pada konflik. Karena ketika berbicara mengenai pertarungan politik itu kan berbicara mengenai perebutan kekuasaan yang sifatnya konfliktual,” kata Yunarto.