Loading...
You are here:intronesia/intro./Abdoel Moeis, Gunakan 'Kata' Sebagai Senjata Perjuangan
Abdoel Moeis berjuang melalui tulisan dan organisasi modern.
Abdoel Moeis berjuang melalui tulisan dan organisasi modern. Istimewa

Abdoel Moeis, Gunakan 'Kata' Sebagai Senjata Perjuangan

04.11.2023 07:30 WIB
2-4 menit

Abdoel Moeis lahir di Sungai Puar, Sumatra Barat, pada tanggal 3 Juli 1883. Ia adalah seorang wartawan, sastrawan, dan politikus yang aktif dalam pergerakan kebangsaan.

Abdoel Moeis adalah anak dari Datuk Tumangguang Sutan Sulaiman, demang Sungai Puar. Ayahnya pernah dengan tegas menentang kebijakan pemerintah kolonial di dataran tinggi Agam. Wilayah Sungai Puar sendiri berada dekat dengan Bukittinggi dan telah menjadi saksi keberanian serta keteguhan hati orang-orang Minangkabau di bawah kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol dalam melawan bangsa Belanda.

Perjuangan yang dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dan sikap ayahnya tampaknya menginspirasi Abdoel Moeis untuk terjun dalam medan perjuangan. Namun, berbeda dengan Imam Bonjol, Abdoel Moeis memilih berjuang melalui tulisan dan organisasi modern.

Seperti kebanyakan pemuda Minangkabau, Abdoel Moeis mulai merantau sejak usia muda dan menghabiskan masa tuanya di luar daerah asalnya.

Abdoel Moeis menyelesaikan pendidikannya di Europeesche Lagere School (ELS). Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di STOVIA, sekolah kedokteran bumiputera, antara tahun 1900 dan 1902. Namun, karena sakit, ia tidak menyelesaikan pendidikannya di sana.

Meskipun Abdoel Moeis lebih dikenal sebagai seorang sastrawan dan jurnalis daripada tokoh pergerakan nasional, ia tetap aktif dalam berbagai organisasi pergerakan.

Ia sangat produktif dan telah menghasilkan banyak karya, baik dalam bentuk artikel maupun karya sastra. Tulisan-tulisannya sering kali mengkritik Belanda, dan beberapa di antaranya dimuat dalam harian De Express, Preanger Bode, dan Neraca.

Salah satu karya sastra terkenalnya adalah novel "Salah Asuhan", yang menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah. Novel ini juga pernah diadaptasi menjadi film.

Dalam pergerakan, Abdoel Moeis aktif sebagai anggota Sarekat Islam (SI). Ia bukan hanya seorang anggota biasa, tetapi namanya dianggap setara dengan tokoh SI lainnya, seperti Haji Agus Salim dan Mohammad Roem. Abdoel Moeis juga merupakan anggota pengurus besar SI.

Pada kongres SI tahun 1916 di Bandung, ia menekankan pentingnya upaya dalam bidang pendidikan bagi rakyat Indonesia, terutama bagi kaum Muslim.

Sebagai seorang aktivis pergerakan yang cerdas, Abdoel Moeis memilih cara unik untuk memperjuangkan nasib bangsanya. Selain menulis dengan tajam, ia juga bergabung dalam Komite Bumiputera bersama Tjipto Mangoenkusoemo, Soewardi Soerjaningrat, dan Wignyadisastra.

Komite ini melakukan protes terhadap perayaan yang diadakan oleh Belanda untuk memperingati seratus tahun kemerdekaan Belanda dari penjajahan Perancis. Aksi ini membuat Abdoel Moeis harus menghadapi pengadilan.

Pada berbagai kesempatan, Abdoel Moeis menggunakan kesempatan yang dimilikinya untuk kepentingan Indonesia. Ketika ia dikirim ke Belanda (Indie Weerbaar), ia memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mempengaruhi tokoh-tokoh politik Belanda agar mendirikan sekolah teknik tinggi (Technische Hooge School) di Indonesia. Upayanya tidak sia-sia, karena sekolah tersebut akhirnya didirikan dan sekarang dikenal dengan nama Institut teknologi Bandung (ITB).

Pada 25 November 1918, bersama dengan HOS Tjokroaminoto, Abdoel Moeis sebagai perwakilan SI dalam Volksraad (Dewan Rakyat) mengajukan mosi kepada pemerintah Belanda. Mosi tersebut menuntut agar pemerintah kolonial membentuk parlemen yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat.

Selain itu, Abdoel Moeis juga terlibat dalam peristiwa pemogokan massal para buruh di Yogyakarta pada tahun 1922.

Tindakan perlawanan Abdoel Moeis, baik melalui tulisan maupun kegiatan dalam pergerakan, membuat pemerintah Belanda menganggapnya sebagai ancaman. Pada tahun 1927, pemerintah kolonial Belanda akhirnya menangkap dan mengasingkannya ke Garut, Jawa Barat.

Meskipun berada dalam pembuangan, Abdoel Moeis tidak berhenti melawan. Malah, ia membentuk Persatuan Perjuangan Priangan dengan tujuan memperjuangkan kemerdekaan. Abdoel Moeis tidak pernah lelah dalam perjuangannya melawan penjajahan.

Abdoel Moeis meninggal di Bandung pada tanggal 17 Juni 1959. Pada tahun yang sama, hanya dua bulan setelah kematiannya, pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional kepada Abdoel Moeis.

---

referensi:

Cek berita, artikel, dan konten INTRONESIA di Google News